Saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, sudah ada Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi, dan Merah Putih sebagai bendera pusaka. Namun, penggunaan Garuda Pancasila sebagai lambang negara baru ditetapkan pada tahun 1951. Mengapa lambang negara kita menggunakan Garuda?
Sejarah Garuda dan Mahabharata
Pemilihan Garuda sebagai lambang negara tidak terlepas dari mitologi yang berakar pada Mahabharata, epos India yang ditulis antara abad ke-3 SM hingga abad ke-3 M. Dalam Mahabharata, Garuda digambarkan sebagai makhluk setengah manusia dan setengah burung, dengan tubuh berwarna emas, sayap merah, dan paruh seperti elang. Garuda adalah tunggangan Dewa Wisnu, simbol kekuatan dan keagungan.
Cerita asal usul Garuda ada di bagian pertama Mahabharata, yaitu Adiparwa. Di sini, Garuda lahir dari pasangan Begawan Kasyapa dan Sang Winata, setelah menetas dari satu telur yang dijaga dengan penuh kesabaran. Garuda berjuang untuk membebaskan ibunya dari perbudakan para naga, simbol perjuangan melawan penindasan.
Garuda sebagai Lambang Perjuangan
Kisah Garuda tidak hanya mitos, tetapi juga simbol perjuangan melawan perbudakan, yang sangat relevan dengan nilai-nilai kemerdekaan Indonesia. Selama ratusan tahun, bangsa Indonesia berjuang melawan penjajahan, dan semangat ini tercermin dalam figur Garuda yang gagah dan kuat.
Garuda dalam Seni dan Arsitektur
Bagi masyarakat Indonesia, Garuda adalah makhluk mitologi paling dikenal. Wujudnya sering ditemukan dalam bentuk arca dan relief di berbagai candi di Jawa, seperti di Candi Prambanan dan Borobudur. Keberadaan Garuda di situs-situs kuno ini menunjukkan betapa pentingnya simbol ini dalam budaya Nusantara.
Proses Penetapan Garuda sebagai Lambang Negara
Pada tahun 1950, Panitia Lambang Negara yang dipimpin oleh Sultan Hamid II memilih Garuda sebagai lambang negara Indonesia. Pada mulanya, Garuda digambarkan dalam wujud manusia setengah burung, mirip dengan versi Mahabharata. Namun, seiring waktu, desain Garuda Pancasila mengalami perubahan, hingga menjadi burung sepenuhnya seperti yang kita kenal sekarang.
Garuda Pancasila kini tampil dengan perisai di dadanya yang mewakili lima sila Pancasila, serta pita bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika, semboyan persatuan dalam keberagaman yang sangat kaya makna.
Kesimpulan: Filosofi di Balik Garuda Pancasila
Pemilihan Garuda sebagai lambang negara Indonesia bukanlah kebetulan. Ia melambangkan kekuatan, kebijaksanaan, dan perjuangan melawan penindasan, sejalan dengan nilai-nilai bangsa Indonesia yang berjuang untuk merdeka. Garuda Pancasila menjadi simbol kebanggaan dan persatuan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sunda Wiwitan MENYIMPANG? Kenapa Mereka DITENTANG?
Sunda Wiwitan sering dianggap sebagai tonggak sejarah yang memperlihatkan hubungan persaudaraan antara masyarakat Sunda dan Jawa. Ajaran ini dikenal sebagai kepercayaan kuno dengan unsur monoteisme purba, yang berpusat pada keyakinan kepada Sang Hyang Kersa—sebuah konsep Tuhan yang Maha Kuasa namun tak berwujud, mirip dengan konsep “Tuhan Yang Maha Esa” dalam ideologi Pancasila.
Sunda Wiwitan erat kaitannya dengan Kapitayan di Jawa, di mana kata “Taya” dalam Kapitayan (yang artinya “Tidak Ada”) diterjemahkan dalam bahasa Sunda sebagai “Teu Aya”. Kepercayaan ini semakin menunjukkan keterkaitan antara Sunda dan Jawa, khususnya pada masa-masa awal sebelum kedatangan agama-agama besar seperti Hindu, Buddha, dan Islam.
Monoteisme atau Animisme?
Meskipun sering disalahpahami sebagai animisme atau dinamisme, Sunda Wiwitan justru monoteistik. Ia menggabungkan unsur-unsur filosofi dan sosial-kebudayaan, seperti yang ditemukan di desa-desa terpencil di Banten dan Jawa Barat, misalnya di Kanekes (Baduy) dan Ciptagelar.
Kitab dan Ajaran Moral
Ajaran Sunda Wiwitan terdapat dalam kitab Sanghyang Siksa Kandang Karesian dari zaman Kerajaan Sunda, yang berisi tuntunan moral, aturan budi pekerti, dan ajaran keagamaan. Bagi masyarakat Kanekes, kepercayaan ini disebut sebagai Jatisunda, yang memiliki banyak elemen dari ajaran Hindu dan Islam, namun tetap mempertahankan esensi lokalnya.
Kepercayaan Terhadap Alam dan Leluhur
Dalam ajaran Sunda Wiwitan, alam dan leluhur sangat dihormati, namun bukan berarti ajaran ini hanya terbatas pada pemujaan alam. Sang Hyang Kersa adalah kekuatan tertinggi, sementara alam dianggap sebagai bagian dari tatanan kehidupan yang harus dijaga dan dihormati. Tiga macam alam—Buana Nyungcung, Buana Panca Tengah, dan Buana Larang—menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan dan lingkungannya.
Sunda Wiwitan di Tengah Agama Besar
Sunda Wiwitan mengalami transformasi seiring dengan kedatangan agama-agama besar. Beberapa masyarakat yang menolak perubahan memilih masuk ke pedalaman untuk mempertahankan ajaran leluhur mereka. Orang Baduy Dalam di Banten menjadi salah satu contoh masyarakat yang hingga kini tetap menjaga keaslian ajaran Sunda Wiwitan.
Madrais dan Agama Djawa Sunda
Pada abad ke-19, muncul aliran Madraisme yang dikenal sebagai Agama Djawa Sunda. Pendirinya, Pangeran Madrais, dianggap kontroversial karena ajarannya berbeda dari Islam, meskipun ia tumbuh sebagai santri. Ajaran Madraisme tetap terkait erat dengan Sunda Wiwitan dan terus dipraktikkan hingga sekarang, terutama di daerah Cigugur, Kuningan.
Buhun: Kepercayaan Lebih Tua dari Sunda Wiwitan
Selain Sunda Wiwitan, ada juga ajaran kuno bernama Buhun, yang dipercaya lebih tua dan merupakan cikal bakal Sunda Wiwitan. Buhun tidak mengenal konsep surga dan neraka, tetapi mengenal tiga jenis kematian yang menunjukkan pemahaman mereka tentang kehidupan setelah mati.
Aliran kepercayaan Buhun masih dianut di beberapa wilayah kecil di Jawa Barat, meskipun telah banyak dipengaruhi oleh ajaran Hindu, Buddha, dan Islam.
Konflik dan Tantangan di Era Modern
Sunda Wiwitan dan aliran-aliran kepercayaan lain sering menghadapi tantangan administratif dan sosial. Misalnya, pada tahun 2020, area pemakaman Sunda Wiwitan di Kuningan disegel oleh Satpol PP, dengan alasan bahwa bangunan tersebut dianggap sebagai tugu pemujaan. Hal ini memperlihatkan bagaimana kepercayaan lokal masih sering disalahpahami oleh pihak luar.
Namun, berkat putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2016, aliran kepercayaan kini diakui dalam dokumen kependudukan, seperti KTP dan KK. Ini merupakan langkah penting menuju pengakuan lebih luas terhadap warisan spiritual dan budaya lokal.
Perayaan Seren Taun
Salah satu tradisi yang paling dikenal dari Sunda Wiwitan adalah Perayaan Seren Taun, sebuah upacara syukuran panen padi dan perayaan pergantian tahun dalam penanggalan Sunda. Perayaan ini berlangsung meriah di berbagai desa di Jawa Barat, seperti Kanekes, Sindang Barang, Ciptagelar, dan Cigugur.
Toleransi dan Warisan Kebudayaan
Di tengah perkembangan zaman, ajaran Sunda Wiwitan dan aliran-aliran kepercayaan lainnya di Indonesia tetap hidup sebagai bagian dari warisan budaya. Mantan Bupati Purwakarta, Kang Dedi Mulyadi, menekankan pentingnya menjaga toleransi antara berbagai keyakinan dan mencegah munculnya ketegangan akibat perbedaan agama dan budaya.
Kini, kita semakin paham bahwa Sunda Wiwitan bukanlah sekadar kepercayaan kuno, tetapi bagian penting dari sejarah dan identitas budaya Nusantara. Sikap toleransi dan penghargaan terhadap keberagaman kepercayaan akan memperkaya dan menjaga warisan spiritual Indonesia.
Panjang umur tradisi Nusantara!