Hari Film Nasional: Sejarah dan Maknanya
Penetapan Hari Film Nasional setiap tanggal 30 Maret tertuang dalam Keputusan Presiden RI Nomor 25 tahun 1999. Ini mengacu pada produksi film ‘The Long March (Darah dan Doa)’—film pertama yang disutradarai oleh orang Indonesia, H. Usmar Ismail, yang diproduksi pada 30 Maret 1950. Usmar Ismail juga merupakan pendiri Persatuan Film Nasional Indonesia (Perfini), sebuah organisasi penting dalam sejarah perfilman Indonesia.
Awal Mula Film di Nusantara
Film pertama masuk ke Nusantara pada masa kolonial Hindia-Belanda, dibawa oleh orang-orang Belanda sebagai hiburan baru yang berbeda dari Toneel Melajoe (teater tradisional). Bioskop pertama berdiri di Tanah Abang, Jakarta, pada 5 Desember 1900. Kehadiran bioskop ini menandai dimulainya industri perfilman di Hindia-Belanda.
Film bisu pertama, Loetoeng Kasaroeng, diluncurkan pada 31 Desember 1926, disutradarai oleh George Krugers, seorang keturunan Jawa-Belanda. Saat itu, teknologi Gambar Idoep masih sangat sederhana dan jauh dari teknologi film modern, namun sangat revolusioner bagi masyarakat pada masanya.
Era Film Sebagai Alat Propaganda
Film kemudian berkembang lebih dari sekadar hiburan. Pada masa pendudukan Jepang, film menjadi alat propaganda politik. Jepang memanfaatkan film untuk menyebarkan pesan-pesan politik demi memenangkan Perang Dunia II. Indonesia, seperti banyak wilayah lain yang diduduki, menjadi sasaran propaganda dengan slogan-slogan seperti “Jepang Saudara Tua” dan “Hidup Dai Nippon!”.
Setelah kemerdekaan, film tetap menjadi alat politik. Pada masa Orde Lama, PKI menggunakan film sebagai alat agitasi politik melalui Lekra dan Surbufis. Pada 8 Mei 1964, berdirilah Panitia Aksi Pengganyangan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS), yang berusaha memboikot film-film Barat dan menggantinya dengan film dari negara sosialis.
Film sebagai Alat Orde Baru
Film juga digunakan sebagai propaganda pada masa Orde Baru, terutama dengan film legendaris Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. Film ini disutradarai oleh Arifin C. Noer dan ditayangkan setiap tahun sebagai bagian dari narasi politik pemerintah. Meskipun film ini memiliki kualitas sinematografi yang tinggi, banyak kritikus menilainya sebagai bentuk penyelewengan sejarah.
Kebangkitan Film Indonesia
Setelah masa gelap di era 1990-an akibat maraknya film-film eksploitasi, perfilman Indonesia mulai bangkit kembali di awal Reformasi dengan munculnya film-film populer seperti Petualangan Sherina (2000) dan Ada Apa Dengan Cinta (2002). Teknologi digital mulai menggantikan film analog, dan bioskop-bioskop serta layanan streaming terus beradaptasi dengan kemajuan zaman.
Tantangan dan Masa Depan Film Indonesia
Kini, film Indonesia terus bersaing di era digital, dengan tantangan seperti pembajakan dan perubahan perilaku penonton. Namun, prestasi film seperti The Raid membuktikan bahwa film Indonesia dapat bersaing di kancah internasional. Dengan hadirnya teknologi AI dan CGI, sineas Indonesia terus berinovasi dan menghasilkan karya-karya berkualitas.